Tidak Menunda-Nunda Ibadah Haji, Tidak Dilakukan ketika Sudah Tua dan Akan Sakit
Untuk pembahasan ini, sangat tepat jika kita membawakan sebuah hadits , yaitu memanfaatkan lima perkara sebelum lima perkara
Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara
(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
(3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
(4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
(5) Hidupmu sebelum datang matimu.”[1]
Ibnu Rajab Al-Hmabali menukil perkataan Ghanim bin Qais,
“Di awal-awal Islam, kami juga saling menasehati: wahai manusia, beramallah di waktu senggangmu sebelum datang waktu sibukmu, beramallah di waktu mudamu untuk masa tuamu, beramallah di kala sehatmu sebelum datang sakitmu, beramallah di dunia untuk akhiratmu, dan beramallah ketika hidup sebelum datang matimu.”[2]
Jika Anda terketuk hati untuk segera menunaikan ibadah haji, maka alhamdulillah Allah telah memberikan taufik dan kebaikan yang banyak kepada Anda. Karena sebagian kaum muslimin meyakini bahwa ibadah haji itu nanti saja dilakukan, jika sudah kaya, jika anak-anak sudah sukses dan jika bisa cari kerja sendiri. Akhirnya karena mencapai target ini, ibadah haji baru bisa dilakukan ketika sudah tua atau bahkan sudah sakit-sakitan atau minimal tubuh sudah tidak fit dan kuat sebagaimana muda dahulu. Akibatnya sering kita jumpai mayoritas yang menunaikan ibadah haji sudah usia lanjut atau akan berusia lanjut.
Keyakinan seperti ini kurang tepat, karena syariat memerintahkan kita agar bersegera menunaikan ibadah haji. Jika shalat, puasa dan syahadat adalah pengorbanan fisik, zakat adalah pengorbanan harta, maka Ibadah haji terkumpul dua pengorbanan yaitu fisik dan harta. Sangat dianjurkan agar bersegera menunaikan ibadah haji, di mana tubuh masih kuat dan fit. Memang ibadah haji memerlukan pengorbanan harta. Ibadah haji juga tidak boleh dipaksakan dengan berhutang atau meninggalkan keluarga dengan kekurangan dan kesempitan ekonomi. Ibadah haji baru ditunaikan jika kebutuhan primer dan sekunder utama telah terpenuhi.
Yang menjadi catatan adalah orang yang sudah punya uang dan terpenuhi kemampuan haji, akan tetapi menunda-nunda naik haji, ia malah lebih memilih memenuhi kebutuhan tersier atau kebutuhan sekunder yang tidak terlalu mendesak. Contohnya saja mobil, jika ini kebutuhan primer, misalnya keperluan mobil di kota-kota besar dengan anak yang banyak. Seperti itu tidak mengapa didahulukan. Akan tetapi jika hanya kebutuhan tersier, maka selayaknya ibadah haji didahulukan dalam pengalokasian harta. Bahkan ada ancaman bagi mereka yang sengaja menunda-nunda berhaji.
@Markaz YPIA, Yogyakarta tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
silahkan like fanspage FB , Follow facebook dan follow twitter
[1] HR. Al Hakim, Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih
[2] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 387-388
Artikel asli: https://muslimafiyah.com/tidak-menunda-nunda-ibadah-haji.html